DAFTAR ISI

Minggu, 03 Januari 2016

Filsafat bahasa

http://mdonisanjaya.blogspot.co.id/2012/01/filsafat-bahasa.html



FILSAFAT BAHASA

Dipresentasikan oleh: M. Doni Sanjaya
NIM. 20112506018


I. PENDAHULUAN
                Filsafat bahasa adalah penyelidikan beralasan ke alam, asal-usul, dan penggunaan bahasa. Sebagai topik, filsafat bahasa bagi para filsuf analitik berkaitan dengan empat masalah utama sifat makna, penggunaan bahasa, kognisi bahasa, dan hubungan antara bahasa dan realitas. Untuk filsuf kontinental. Namun, filsafat bahasa cenderung ditangani, bukan sebagai topik yang terpisah, tetapi sebagai bagian dari logika, sejarah atau politik.
Pertama, filsuf bahasa  menanyakan sifat makna, dan berusaha untuk menjelaskan apa artinya "berarti" sesuatu. Topik dalam pembuluh darah yang meliputi sifat sinonim, asal-usul makna itu sendiri, dan bagaimana makna yang bisa benar-benar diketahui. Proyek lain di bawah judul ini kepentingan khusus filsuf analitik bahasa adalah penyelidikan cara yang tersusun menjadi kalimat keluar keseluruhan bermakna arti bagian-bagiannya.
Kedua, mereka ingin memahami apa yang pembicara dan pendengar lakukan dengan bahasa dalam komunikasi, dan bagaimana digunakan sosial. Kepentingan khusus dapat meliputi topik pembelajaran bahasa, penciptaan bahasa, dan tindak tutur.
Ketiga, mereka ingin tahu bagaimana bahasa berkaitan dengan pikiran baik dari pembicara dan penerjemah. Dari minat tertentu adalah dasar untuk terjemahan keberhasilan kata menjadi kata lain.
Akhirnya, mereka menyelidiki bagaimana bahasa dan makna berhubungan dengan kebenaran dan dunia. Filsuf cenderung kurang peduli dengan kalimat yang sebenarnya benar, dan banyak lagi dengan jenis apa makna bisa benar atau salah. Seorang filsuf berorientasi kebenaran bahasa mungkin bertanya-tanya apakah suatu kalimat bermakna bisa benar atau salah, atau apakah kalimat dapat mengekspresikan proposisi tentang hal-hal yang tidak ada, bukan seperti kalimat yang digunakan.
Bahasa dan filsafat berjalan berpapasan mengikuti arus sesuai dengan peralihan dari siang ke petang, dari hari kemarin ke hari esok. Seseorang akan mampu berfilsafat jika bahasa itu ada, begitu juga dengan adanya bahasa, seseorang itu akan berbahasa sesuai dengan hasil penalaran, proses kerja otak dan menghasilkan pengetahuan yang diolah melalui filsafat. Jadi, bahasa dan filsafat merupakan dua sejoli yang tidak terpisahkan. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang senantiasa bersatu.
Minat seseorang terhadap kajian bahasa bukanlah hal yang baru sepanjang sejarah filsafat. Semenjak munculnya Retorika Corax dan Cicero pada zaman Yunani dan Romawi abad 4 – 2 SM hingga saat ini (Post Modern), bahasa merupakan salah satu tema kajian filsafat yang sangat menarik.
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam ruang dunia filsafat dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Istilah muncul bersamaan dengan kecendrungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu, sangat wajar apabila ditemukan kesulitan untuk mendapatkan pengertian yang pasati mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.
Verhaar telah menunjukkan dua jalan yang terkandung dalam istilah filsafat bahasa, yaitu : 1) filsafat mengenai bahasa; dan 2) filsafat berdasarkan bahasa. Di dalam pembahasan makalah ini, akan dibahas lebih detail tentang hakikat filsafat bahasa. Dan adapun garis-garis besar yang dibahas yaitu : spekulasi asal-usul bahasa, defenisi bahasa dan filsafat itu sendiri, esensi bahasa ditinjau dari segi filsafat, hubungan bahasa dengan filsafat, kelemahan-kelamahan bahasa, fungsi filsafat terhadap bahasa, dan peranan filsafat bahasa dalam pengembangan bahasa.



Filsafat Bahasa

http://eningherniti.blogspot.co.id/2010/02/pengertian-filsafat-bahasa.html

Pengertian Filsafat Bahasa


Bab I
Pengertian Filsafat Bahasa

A. Pendahuluan
Filsafat bahasa hadir dalam dunia filsafat merupakan pendatang baru. Filsafat bahasa baru berkembang sekitar abad XX setelah munculnya linguistik modern yang dipelopori oleh tokoh strukturalis yaitu Mongin Ferdinand de Saussure(1857-1913). Sebenarnya perhatian para filsuf terhadap bahasa telah berlangsung lama, yakni sejak zaman prasocrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Namun, dalam perjalanan sejarah aksentuasi (titik tekan) perhatian filsuf berbeda-beda dan sangat bergantung pada perhatian dan permasalahan filsafat yang dikembangkannya.
Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang filsafat yang mengandalkan analisis penggunaan bahasa karena banyak masalah-masalah dan konsep-konsep filsafat yang hanya dapat dijelaskan melalui analisis bahasa karena bahasa merupakan sarana yang vital dalam filsafat.
Filsafat bahasa merupakan studi filsafati berdasarkan nilai apriori atau aposteriori dari bahasa dan bagaimana bahasa itu dijadikan sebagai alat komunikasi. Filsafat bahasa sebagai studi analisis filsafati, pemaknaan bersifat objektif dan subjektif. Bersifat objektif, apabila makna yang diungkap merupakan makna yang dikandung secara leksikal/denotasi dalam sebuah wacana lisan atau tulisan. Bersifat subjektif, apabila makna yang diungkap ada dalam mata si pembaca dan merupakan makna kontekstual, yaitu apa yang ada di balik makna kata tersebut/konteks.  

BAHASA ARAB dan METODE PEMBELAJARANNYA

http://ahmadmukhlasinalkasuba.blogspot.co.id/2012/09/bahasa-arab-dan-metode-pembelajarnnya.html

BAHASA ARAB dan METODE PEMBELAJARANNYA


BAB I

A.    PENDAHULUAN
Metode pembelajaran Bahasa Arab telah mendapatkan perhatian dari para ahli pembelajaran Bahasa dengan melakukan berbagai kajian dan peneitian untuk mengetahui efektifitas dan kesuksekan berbagai metode pembelajaran. Yaitu bahwa metode menjadi hal yang sangat penting dalam studi Bahasa Asing termasuk didalamnya adalah belajar Bahasa Arab. Kesuksesan belajar ini sangat barkaitan dengan berbagai faktor yang mendukungnya yaitu faktor antara siswa dengan guru, karena hal ini adalah metode atau cara yang dipakai dalam pembelajaran untuk mempermudah seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan kebahasaan, tetapi ada kalanya juga seseorang mendapatkan kesulitan jika dalam belajarnya tidak sesuai dengan karakteristik metodenya atau tidak tepat sasaran. Oleh karena itu metode yang tepat dalam belajar sebaiknya melihat konsep dari sebuah metode belajar Bahasa Arabnya.   
Bahasa Arab sebagaimana kita ketahui merupakan bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa Semit yang maju, dimana bahasa arab juga sebagai bahasa Al-Qur’an.[1] Selain itu kosa kata dalam bahasa Indonesia juga banyak yang menyerap dari bahasa Arab.
Bahasa Arab dapat didefinisikan sebagai berikut:
اللغة هي الوسيلة العظمى لضم صفوف الامة الواحدة. وجمع كلمة افردها, كما أنّها أداة للتعبير عمّا يفكّر المرأ. والة لعرض ما ينتجه العقل, وهي وسيلة التفاهم بين إفراد الجما عة الوا حدة (على رضا, المرجع فى اللغة العرا بية فى نحوها وصرفها,V)

Dari penjelasan diatas, dapat dijelaskan bahwa pembelajaran bahasa Arab adalah proses interaksi peserta didik dengan lingkungannya (dalam hal ini adalah bahasa Arab) sehingga terjadi perubahan perilaku siswa dimana mereka dapat memahami, mengerti, dan menguasai keterampilan bahasa Arab yang meliputi menulis, membaca, mendengarkan, berbicara dengan baik dan benar.


Metode Pengajaran Bahasa Arab

https://abdiz.wordpress.com/pendidikan/metode-pengajaran-bahasa-arab/

Metode Pengajaran Bahasa Arab

Ibnu khaldun berkata, “Sesungguhnya pengajaran itu merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan kecermatan karena ia sama halnya dengan pelatihan kecakapan yang memerlukan kiat, strategi dan ketelatenan, sehingga menjadi cakap dan professional.” Penerapan metode pengajaran tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien sebagai media pengantar materi pengajaran bila penerapannya tanpa didasari dengan pengetahuan yang memadai tentang metode itu. Sehingga metode bisa saja akan menjadi penghambat jalannya proses pengajaran, bukan komponen yang menunjang pencapaian tujuan, jika tidak tepat aplikasinya. Oleh karena itu, penting sekali untuk memahami dengan baik dan benar tentang karakteristik suatu metode. Secara sederhana, metode pengajaran bahasa Arab dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu: pertama, metode tradisional/klasikal dan kedua, metode modern. Metode pengajaran bahasa Arab tradisional adalah metode pengajaran bahasa Arab yang terfokus pada “bahasa sebagai budaya ilmu” sehingga belajar bahasa Arab berarti belajar secara mendalam tentang seluk-beluk ilmu bahasa Arab, baik aspek gramatika/sintaksis (Qowaid nahwu), morfem/morfologi (Qowaid as-sharf) ataupun sastra (adab). Metode yang berkembang dan masyhur digunakan untuk tujuan tersebut adalah Metode qowaid dan tarjamah. Metode tersebut mampu bertahan beberapa abad, bahkan sampai sekarang pesantren-pesantren di Indonesia, khususnya pesantren salafiah masih menerapkan metode tersebut. Hal ini didasarkan pada hal-hal sebagai berikut: Pertama, tujuan pengajaran bahasa arab tampaknya pada aspek budaya/ilmu, terutama nahwu dan ilmu sharaf. Kedua kemampuan ilmu nahwu dianggap sebagai syarat mutlak sebagai alat untuk memahami teks/kata bahasa Arab klasik yang tidak memakai harakat, dan tanda baca lainnya. Ketiga, bidang tersebut merupakan tradisi turun temurun, sehingga kemampuan di bidang itu memberikan “rasa percaya diri (gengsi) tersendiri di kalangan mereka”. Metode pengajaran bahasa Arab modern adalah metode pengajaran yang berorientasi pada tujuan bahasa sebagai alat. Artinya, bahasa Arab dipandang sebagai alat komunikasi dalam kehidupan modern, sehingga inti belajar bahasa Arab adalah kemampuan untuk menggunakan bahasa tersebut secara aktif dan mampu memahami ucapan/ungkapan dalam bahasa Arab. Metode yang lazim digunakan dalam pengajarannya adalah metode langsung (tariiqah al – mubasysyarah). Munculnya metode ini didasari pada asumsi bahwa bahasa adalah sesuatu yang hidup, oleh karena itu harus dikomunikasikan dan dilatih terus sebagaimana anak kecil belajar bahasa. Penjelasan:
1.Metode Qowa’id dan tarjamah (Tariiqatul al Qowaid Wa Tarjamah)
Penerapan metode ini lebih cocok jika tujuan pengajaran bahasa Arab adalah sebagai kebudayaan, yaitu untuk mengetahui nilai sastra yang tinggi dan untuk memiliki kemampuan kognitif yang terlatih dalam menghafal teks-teks serta memahami apa yang terkandung di dalam tulisan-tulisan atau buku-buku teks, terutama buku Arab klasik11. Ciri metode ini adalah:
a.Peserta didik diajarkan membaca secara detail dan mendalam tentang teks-teks atau naskah pemikiran yang ditulis oleh para tokoh dan pakar dalam berbagai bidang ilmu pada masa lalu baik berupa sya’ir, naskah (prosa), kata mutiara (alhikam), maupun kiasan-kiasan (amtsal).
b.Penghayatan yang mendalam dan rinci terhadap bacaan sehingga peserta didik memiliki perasaan koneksitas terhadap nilai sastra yang terkandung di dalam bacaan. (bahasa Arab – bahasa ibu).
c.Menitikberatkan perhatian pada kaidah gramatika (Qowa’id Nahwu/Sharaf) untuk menghafal dan memahami isi bacaan.
d.Memberikan perhatian besar terhadap kata-kata kunci dalam menerjemah, seperti bentuk kata kiasan, sinonim, dan meminta peserta didik menganalisis dengan kaidah gramatikal yang sudah diajarkannya (mampu menerjemah bahasa ibu ke dalam Bahasa Arab)
e.Peserta tidak diajarkan menulis karangan dengan gaya bahasa yang serupa / mirip, dengan gaya bahasa yang dipakai para pakar seperti pada bacaan yang telah dipelajarinya, terutama mengenai penggunaan model gaya bahasa, al – itnab at Tasbi’ al Istiarah yang merupakan tren / gaya bahasa masa klasik. Aplikasi Metode Qowa’id dan tarjamah dalam proses pembelajaran;
a.Guru mulai mendengarkan sederetan kalimat yang panjang yang telah dibebankan kepada peserta didik untuk menghafalkan pada kesempatan sebelumnya dan telah dijelaskan juga tentang makna dari kalimat-kalimat itu.
b.Guru memberikan kosa kata baru dan menjelaskan maknanya ke dalam bahasa local/bahasa ibu sebagai persiapan materi pengajaran baru.
c.Selanjutnya guru meminta salah satu peserta didik untuk membaca buku bacaan dengan suara yang kuat (Qiroah jahriah) terutama menyangkut hal-hal yang biasanya peserta didik mengalami kesalahan dan kesulitan dan tugas guru kemudian adalah membenarkan.
d.Kegiatan membaca teks ini diteruskan hingga sekuruh peserta didik mendapat giliran. e.Setelah itu siswa yang dianggap paling bisa untuk menterjemahkan, kemudian selanjutnya diarahkan pada pemahaman struktur gramatikanya12.
2.Metode langsung (al Thariiqatu al Mubaasyarah)
Penekanan pada metode ini adalah pada latihan percakapan terus-menerus antara guru dan peserta didik dengan menggunakan bahasa Arab tanpa sedikitpun menggunakan bahasa ibu, baik dalam menjelaskan makna kosa kata maupun menerjemah, (dalam hal ini dibutuhkan sebuah media). Perlu menjadi bahan revisi disini adalah bahwa dalam metode langsung, bahasa Arab menjadi bahasa pengantar dalam pengajaran dengan menekankan pada aspek penuturan yang benar ( al – Nutqu al – Shahiih), oleh karena itu dalam aplikasinya, metode ini memerlukan hal-hal berikut;
a.Materi pengajaran pada tahap awal berupa latihan oral (syafawiyah)
b.Materi dilanjutkan dengan latihan menuturkan kata-kata sederhana, baik kata benda ( isim) atau kata kerja ( fi’il) yang sering didengar oleh peserta didik.
c.Materi dilanjutkan dengan latihan penuturan kalimat sederhana dengan menggunakan kalimat yang merupakan aktifitas peserta didik sehari-hari.
d.Peserta didik diberikan kesempatan untuk berlatih dengan cara Tanya jawab dengan guru/sesamanya.
e.Materi Qiro’ah harus disertai diskusi dengan bahasa Arab, baik dalam menjelaskan makna yang terkandung di dalam bahan bacaan ataupun jabatan setiap kata dalam kalimat.
f.Materi gramatika diajarkan di sela-sela pengajaran,namun tidak secara mendetail.
g.Materi menulis diajarkan dengan latihan menulis kalimat sederhana yang telah dikenal/diajarkan pada peserta didik.
h.Selama proses pengajaran hendaknya dibantu dengan alat peraga/media yang memadai. Penutup Sebagai penutup, bahwa alur makalah ini lebih menekankan tentang pentingnya: Seorang guru (pendidik) sebaiknya memahami prinsip – prinsip dasar pengajaran bahasa Arab diatas sebagai bahasa asing dengan menggunakan metode yang memudahkan peserta didik dan tidak banyak memaksakan peserta didik ke arah kemandegan berbahasa. Adapun bagi bagi seorang siswa, bahwasanya belajar bahasa apapun, semuanya membutuhkan proses, banyak latihan dan banyak mencoba.

Prinsip-prinsip Pengajara Bahasa

https://rabithahsarisiregar.wordpress.com/2012/11/22/prinsip-prinsip-pengajaran-bahasa/



Prinsip-prinsip Pengajaran Bahasa


A. PENDAHULUAN
Mengajar adalah sebuah proses yang dilakukan seseorang (dalam hal ini adalah guru) yang memungkinkan terjadinya pembelajaran pada siswa. Pengajaran tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran. Oleh karena itu, guru dituntut untuk dapat memfasilitasi siswa secara efektif agar terjadi pembelajaran dimana siswa berperan aktif dalam mengembangkan dirinya untuk mencapai berbagai kecakapan.
Namun, sering kali seorang guru, khususnya yang belum memiliki banyak pengalaman mengajar, memilih metode pengajaran secara acak tanpa mengetahui teori yang mendasarinya dan tanpa mempertimbangkan karakteristik siswa. Padahal, apabila guru mengetahui prinsip prinsip pengajaran bahasa dan menerapkannya dalam pengajarannya, maka proses belajar mengajar akan menjadi lebih baik.
Makalah ini berisi dua belas prinsip pengajaran bahasa yang dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: kognitif, afektif, dan linguistik. Prinsip prinsip ini diambil dari pendekatan pengajaran bahasa.
B. ISI
Menurut Brown (2001) ada dua belas prinsip pengajaran bahasa dan keduabelas prinsip tersebut dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu: Kognitif, Afektif, dan Linguistik
Prinsip Prinsip Kognitif
Dikatakan prinsip kognitif karena pada umumnya berkaitan dengan fungsi mental dan intelektual. Menurut pandangan kognitif proses belajar yang terjadi dalam diri individu adalah suatu proses penerimaan informasi. Belajar dimulai dari input yang datang dari lingkungan diterima oleh panca indera, kemudian diproses dan disimpan di dalam memori dan output dari pembelajaran adalah berbagai kemampuan atau competencies. (Jamaris: 2010)
Ada lima prinsip kognitif, yaitu: Otomatisasi, Pembelajaran Bermakna, Antisipasi Penghargaan, Motivasi Intrinsik, dan Strategi Investasi. Berikut adalah uraian lebih detail tentang kelima prinsip kognitif tersebut.

Sejarah Perkembangan bahasa Arab

http://edu.dzihni.com/2012/11/sejarah-perkembangan-bahasa-arab.html

Sebagian ahli bahasa membagi bahasa dari aspek kemunculannya menjadi: Bahasa Samiyah (Semit); mencakup bahasa Arab, Ibrani, Sumeria, Kaldea, Habsyi (Ethiopia), Assyria, Babilonia, Punisia, Hamiri, dan Nabthea. Bahasa Ariya; mencakup bahasa Hindu kuno –Sansekerta– (termasuk turunannya adalah: bahasa Persia Kuno, bahasa Latin dan Jerman) dan derivatnya yang merupakan bahasa modern, yaitu bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Spanyol. Dan Bahasa Thurani (Mesir kuno); Turki, Hongaria, Tartar, dan Mongolia.[1]

Ahli bahasa lainnya membagi bahasa dari aspek susunannya menjadi: 1) Bahasa ahadi, tersusun dari satu suku kata (maqtha), seperti bahasa Cina. Setiap makna dan kata mempunyai satu suku kata yang tidak berubah-ubah; 2) Bahasa mazji, lafadz-lafadz dalam bahasa ini tersusun dari dua kata.
Yang pertama menunjukkan kepada makna pokok. Yang kedua menunjukkan kepada makna yang menerangkan makna pokok, seperti pelaku, zaman (waktu), atau tempat.

Contohnya bahasa Turki dan bahasa Jepang; 3) Bahasa mutasharifah, yaitu bahasa yang kata dasarnya bisa berubah-ubah menjadi bentuk kata yang bermacam-macam. Setiap bentuk kata itu menunjukkan terhadap suatu makna yang tidak ditunjukkan oleh kata yang lainnya (berbeda-beda). Seperti bahasa Arab, Ibrani, dan Sumeria. Namun demikian, bahasa Arab memiliki keistimewaan karena keberadaannya sebagai bahasa yang memiliki isytiqâq dan i’rab secara bersamaan.[2] Selanjutnya bahasa Arab mengalami perkembangan yang terdiri dari beberapa priode, antara lain:[3]

Priode Jahiliyah, munculnya standarisari nilai-nilai pembentukan bahasa Arab fusha, dengan adanya beberapa kegiatan yang telah menjadi tradisi masyarakat Makah, berupa festival syair-syair Arab di pasar Ukaz, Majanah, Zul Majah, sehingga mendorong tersiar dan meluasnya bahasa Arab, yang pada akhirnya kegiatan tersebut dapat membentuk stsndarisasi bahasa Arab fusha dan kesusasteraannya.

Periode Permulaan Islam, turunnya al-Quran dengan membawa kosa-kata baru dengan jumlah luar biasa banyaknya menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang sempurma baik dalam kosa-kata, makna, gramatikal dan ilmu lainnya. Hingga perluasan wilayah-wilayah kekuasaan Islam sampai berdirinya Daulah Umayah. Setelah berkembang kekuasaan Islam, orang-orang Islam Arab pindah ke negeri baru, sampai masa Khulafa ar-Rasyidin.

Priode Bani Umayah, terjadinya percampuran orang-orang Arab dengan penduduk asli akibat logis dari perluasan wilayah Islam. Adanya upaya-upaya orang Arab untuk menyebarkan bahasa Arab ke wilayah melalui akspansi yang beradab. Melakukan Arabisasi dalam berbagai kehidupan, sehingga penduduk asli mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa agama dan pergaulan.

Priode Bani Abasiyah, pemerintahan Abasiyah berprinsip bahwa kejayaan pemerintahannya sangat tergantung kepada kemajuan agama Islam dan bahasa Arab, kemajuan agama Islam dipertahankan dengan melakukan pembedahan Al-Quran terhadap cabang-cabang disiplin ilmu pengetahuan baik ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan lainnya. Bahasa Arab Badwi yang bersifat alamiah ini tetap dipertahankan dan dipandang sebagai bahasa yang bermutu tinggi dan murni, yang harus dikuasai oleh para keturunan Bani Abbas. Pada abad ke-4 H bahasa Arab fusha menjadi bahasa tulisan untuk keperluan administrasi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan bahas Arab mulai dipelajari melalui buku-buku, sehingga bahasa fusha berkembang dan meluas.

Priode Sesudah Abad ke-5 H, bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa politik dan administrasi pemerintahan, tetapi hanya menjadi bahasa agama. Hal ini terjadi setelah dunia Arab terpecah dan diperintah oleh penguasa politik non Arab (Bani Saljuk), yang mendeklarasikan bahasa Persia sebagai bahasa resmi negara Islam dibagian timur, sementara Turki Usmani (Khilafah Ustmani) yang menguasai dunia Arab yang lainnya, malah mendeklarasikan bahwa bahasa Turki sebagai bahasa administrasi pemerintahan. Sejak saat itu sampai abad ke7 H bahasa Arab semakin terdesak.

Periode bahasa Arab di zaman baru, kebangkitan bahasa Arab yang dilandasi dengan upaya pengembangan oleh kaum intelektual Mesir. Dengan ciri-ciri:

1. Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar disekolah dan ketika perkuliahan;
2. Munculnya gerakan menghidupkan warisan budaya lama dan menghidupkan penggunaan kosakata asli dari bahasa fusha;
3. Adanya gerakan yang mendorang penerbitan dan percetakan dinegara-negara Arab, juga mencetak kembali buku-buku sastra Arab dari segala zaman dalam jumlah massif, begitupun penerbitan buku-buku dan berbagai kamus bahasa Arab.

Para intelektual melakukan counter terhadap pendapat yang menyerang bahasa Arab, hal tersebut terindikasi dengan: 1) Adanya usaha-usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Arab seperti pendirian Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah pada tahun 1934 M di Mesir, lembaga tersebut bertujuan memelihara keutuhan dan kemurnian bahasa fusha dan melakukan usaha-usaha pengembangan, agar menjadi bahasa yang dinamis, maju dan mampu memenuhi tuntutan kemajuan dunia ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya; 2) Mendirikan lembaga pendidikan, khususnya pengajaran bahasa Arab seperti Al-Azhar jurusan bahasa Arab. Perhatian bangsa Arab tidak hanya terjadi di Mesir tetapi terjadi pula di negara Arab lainnya.

[1] ‘Atha Ibn Khalil, Taisir Wushul … hlm. 115
[2] Ibid
[3] Ahmad Izzan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab, cet. III., Humaniora: Bandung. 2009. hlm. 15-44

Perkembangan Bahasa Arab dari Masa ke Masa

http://gunawanktt.blog.uns.ac.id/2014/09/19/perkembangan-bahasa-arab-dari-masa-ke-masa/

MM.E.cultengenai asal usul bahasa Arab, sekurangnya ada dua pendapat.Pendapat pertama  mengatakan bahwa bahasa Arab sudah ada sejak Nabi Adam AS. Pendapat ini bersandar QS: al-Baqarah: 31 “Dan Kami ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya…”. Pendapat kedua mengatakan bahawa bahasa Arab adalah bahasa rumpun semitik yang merupakan gabungan antara bahasa-bahasa Afroasiatik (gabunganantarabahasa Asia danAfrika). Semitik adalah bahasa-bahasa ras semit. Semit dinisbatkan kepada Syam bin Nuh AS. Syam nenek moyang Ibrahim AS. Kita mengetahui bahwa nabi Ibrahim adalah bapaknya para nabi yang menurunkan Ishaq dan Ismail. Bahasa yang serumpun dengan bahasa Arab adalah bahasa Iberani.
Para ahli linguistic Arab sepakat bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat no dua. Hal iniberdasar pada beberapa penelitian yang salah satunya adalah bahwa bahasa Arab memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Iberani. Selain itu QS:2:31 tersebut tidak mengindikasikan pemberian nama-nama kepada Nabi Adam dengan bahasa Arab.
Bahasa Arab lahir di Jazirah Arab jauh sebelum Islam lahir. Pada saat itu bangsa Arab terdiri dari berbagai kabilah yang masing-masing memiliki dialek-dialek (Arab: Lahjah) berbeda-beda. Bagaimanapun perbedaan antara dialek satu dengan lainnya tidaklahberbeda. Sejak zaman Jahiliyah sudah terdapat bahasa Arab Persatuan yaitu bahasa Arab Fusha. Bahasa Arab fusha adalah bahasa syair d an Khitabah yang berkembang pesat saat itu. Syair dan khitabah memiliki posisi penting dan kedudukan yang kuat dalam tatanan kehidupan Arab Jahiliyah. Dengan syair para kabilah-kabilah Arab berperang, dan dengan syair pula mereka berdamai. Selain itu syair berfungsi sebagai pujian, celaan, penyemangat perang, keunggulan dan permohonan maaf. Semetara khitobah berfungsi sebagai penyemangat, dan wahana memberikan pengaruh bagi kalangan berpengaruh saat itu. hal itu bisa terlihat pada khutbahnya Hani Ibnu Qabishah saat terjadi perang dahsyat antara Persia dan Kabilah Bani Bakar. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa peran bahasa Arab pada zaman sebelum kedatangan Islam adalah media komunikasi masyarakat yang paling efektiv melalui karya-karya sastra yang berjaya saatitu.

SEJARAH ARAB, MEKAH, KABAH & ZAMZAM

http://www.mantanmuslim.com/2009/01/sejarah-arab-mekah-kabah-zamzam.html

SEJARAH ARAB, MEKAH, KABAH & ZAMZAM

Menurut Encyclopaedia Britannica and Encyclopaedia Islamia, Arab tidak mencatatkan mengenai sejarah mereka sebelum jaman Islam. Anehnya, mereka bahkan menyebut jaman itu sebagai jaman Jahiliyah yang penuh nista dan kegelapan. Mungkin tiada satu pun negara di dunia yang terang2an menghapus sejarahnya sendiri selama 2.500 tahun seperti Arab. Dimana secara sistematis menghancurkan segala yang berhubungan dengan masa lalu. Hal ini dilakukan karena mereka malu atas identitasnya sebagai bangsa budak

Sejarah dunia mencatat bahwa bangsa Arab adalah keturunan dari Ismael, anak dari seorang budak yang bernama Hagar, yang diusir oleh Sarah, istri sah Ibrahim. Sarah kemudian melahirkan seorang anak yang bernama Ishak yang menjadi bapak bangsa Yahudi. Kecemburuan Ismael kepada Ishak inilah yang menyebabkan kecemburuan bangsa Arab kepada bangsa Yahudi. Kecemburuan Islam terhadap Yahudi, yang akhirnya merembet juga kepada Kristen.

Arab telah menghapus segala kenangan pra Islam dalam benak mereka. Mereka menggunakan Islam untuk menghapus stigma negatif mereka sebagai bangsa budak. Islam kemudian membalikkan status bangsa mereka menjadi bangsa pilihan Allah. Jika mereka memilih untuk jadi bodoh dan tidak tahu apa2 tentang masa lalu mereka, maka sungguh ironis bahwasanya mereka menuduh jaman sebelum Islam sebagai jaman bodoh dan tidak tahu apa2.

Untungnya, kita masih bisa menelusuri jaman sebelum Islam di Arabia. Pepatah terkanal mengatakan bahwa tidak mungkin bisa menghilangkan segala bukti. Sejarah Arab pra-Islam adalah sejarah Ksatria India atas tanah tersebut, di mana masyarakat menganut cara hidup Veda.

Sebagai usaha menyusun kembali sejarah Arabia pra-Islam, kami mulai dengan nama negara itu sendiri. Arabia itu adalah kata singkatan. Kata aslinya yang bahkan masih digunakan saat ini adalah Arbashtan. Asal katanya adalah Arvasthan. Seperti dalam bahasa Sansekerta, huruf "V" diganti jadi huruf "B". Arva dalam bahasa Sansekerta berarti kuda. Arvasthan berarti tanah kuda, dan kita tahu bahwa Arabia memang terkenal akan kuda2nya. Pusat ibadah yakni Mekah juga berasal dari bahasa Sansekerita. Kata Makha dalam bahasa Sanskrit berarti api persembahan. Karena penyembahan terhadap Api Veda dilakukan di seluruh daerah Asia Barat di jaman pra-Islam, maka Makha berarti tempat yang memiliki kuil untuk menyembah api.

Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa Jazirah Arab, jauh sebelum masa Islam, adalah jajahan dari Kerajaan India Kuno. Menurut sejarah, para Maharaja Candragupta (58 S.M. - 415 M.) memperluas Kerajaan Hindu yang mencakup India, hingga jauh sampai keseluruh Teluk Arabia. Para Maharaja ini adalah pengikut setia dewa-dewi Hindu khususnya Dewa Shiva (dewa bulan-Allat) dan istrinya Dewi Dhurga (dewi bulan-Allah. Silahkan lihat sejarah lengkapnya dilink berikut:

Para Maharaja mempersembahkan kepada dewa-dewa mereka bangunan-bangunan kuil di seluruh wilayah kerajaan mereka (di Saudi Arabia saja sedikitnya ada 7 kuil peninggalan mereka, termasuk Kabah yang dibangun dimasa Raja Vikramaditya masih berdiri sampai saat ini). Bahkan setelah kerajaan Hindu ini runtuh, penduduk Arab masih percaya dan menyembah dewa-dewa itu dan mengagungkan kuil-kuil yang ada sampai datangnya masa nabi Muhammad. (Untuk lebih detailnya lihat artikel “Kabah, sebuah kuil Hindu” http://www.hinduism.co.za/).

Naskah Raja Vikramaditya yang ditemukan dalam Kabah di Mekah merupakan bukti yang tidak dapat disangkal bahwa Jazirah Arabia merupakan bagian dari Kekaisaran India di masa lalu, dan dia yang sangat menjunjung tinggi Deva Siva lalu membangun kuil Siva yang bernama Kabah. Naskah penting Vikramaditya ditemukan tertulis pada sebuah cawan emas di dalam Kabah di Mekah, dan tulisan ini dicantumkan di halaman 315 dari buku yang berjudul `Sayar-ul-Okul' yang disimpan di perpustakaan Makhtab-e-Sultania di Istanbul, Turki. Inilah tulisan Arabnya dalam huruf latin:

"Itrashaphai Santu Ibikramatul Phahalameen Karimun Yartapheeha Wayosassaru Bihillahaya Samaini Ela Motakabberen Sihillaha Yuhee Quid min howa Yapakhara phajjal asari nahone osirom bayjayhalem. Yundan blabin Kajan blnaya khtoryaha sadunya kanateph netephi bejehalin Atadari bilamasa- rateen phakef tasabuhu kaunnieja majekaralhada walador. As hmiman burukankad toluho watastaru hihila Yakajibaymana balay kulk amarena phaneya jaunabilamary Bikramatum". (Page 315 Sayar-ul-okul).[Note: The title `Saya-ul-okul' signifies memorable words.]

SEJARAH BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM

http://centrin21.tripod.com/sejarah.htm

SEJARAH BANGSA ARAB
SEBELUM ISLAM

Haruslah kita ketahui walaupun agak sedikit keadaan bangsa Arab sebelum datang agama Islam, karena bangsa Arablah bangsa yang mula-mula menerima agama Islam.
Sebelum datang agama Islam, mereka telah mempunyai berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Agama baru ini pun datang membawa akhlak, hukum-hukum dan peraturan-peraturan hidup.
Jadinya agama baru ini datang kepada bangsa yang bukan bangsa baru. Maka bertemulah agama Islam dengan agama-agama jahiliah, peraturan-peraturan Islam dengan peraturan-peraturan bangsa Arab sebelum Islam. Kemudian terjadilah pertarungan yang banyak memakan waktu. Pertarungan-pertarungan ini baru dapat kita dalami, kalau pada kita telah ada pengetahuan dan pengalaman sekedarnya, tentang kehidupan bangsa Arab, sebelum datangnya agama Islam.
Cara semacam ini perlu juga kita pakai, bilamana kita hendak memperkatakan masuknya agama Islam ke Indonesia, Mesir atau Siria. Kita harus mengetahui sekedarnya keadaan negeri-negeri ini sebelum datangnya agama Islam, karena pengetahuan kita tentanghal itu akan menolong kita untuk mengenal dengan jelas, betapa caranya masing-masing negeri ini menyambut kedatangan agama Islam.
Bagsa Arab seperti yang akan kita terangkan nanti, terbagi atas dua bahagian, yaitu: penduduk gurun pasir dan penduduk negeri.
Sejarah bangsa Arab penduduk gurun pasir hampir tidak dikenal orang. Yang dapat kita ketahui dari sejarah mereka hanyalh yang dimulai dari kira-kira lima puluh tahun sebelum Islam. Adapun yang sebelum itu tidaklah dapat diketahui. Yang demikian disebabkan karena bangsa Arab penduduk padang pasiritu terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang selalu berperang-perangan. Peperangan-peperangan itu pada asal mulanya ditimbulkan oleh keinginan memelihara hidup, karena hanya siapa yang kuat sajalah yang berhak memiliki tempat-tempat yang berair dan padang-padang rumput tempat menggembalakan binatang ternak. Adapun si lemah, dia hanya berhak mati atau jadi budak.
Peperangan-peperangan itu menghabiskan waktu dan tenaga; karena itu mereka tidak mempunyai waktu dan kesempatan lagi untuk memikirkan kebudayaan. Dan bilamana di antara mereka dapat bekerja, mencipta dan menegakkan suatu kebudayaan, datanglah orang lain memerangi dan meruntuhkannya.
Dan lagi, mereka buta huruf. Oleh karena itu sejarah dan kehidupan mereka tiadalah dituliskan.
Jadi, tidak ada bengunan-bangunan yang dapat melukiskan sejarah mereka; dan tidak ada pula tulisan-tulisan yang dapat menjelaskan sejarah itu. Adapun yang sampai kepada kita tentang orang-orang jaman dahulu itu, adalah yang diceritakan oleh kitab-kitab suci. Sejarah mereka, muali dari masa seratus lima puluh tahun sebelum Islam, dapat kita ketahui dengan perantaraan syair-syair atau cerita-cerita yang diterima dari perawi-perawi.
Adapun sejarah bangsa Arab penduduk negeri, Adalah lebih jelas. Negeri-negeri mereka ialah: Jazirah Arab bahagian selatan, kerajaan Hirah dan Ghassan, dan beberapa kota ditanah Hejaz.
ILMU BUMI JAZIRAH ARAB
Jazirarah dalam bahasa Arab berarti pulau, jadi "Jazirah Arab" berarti "Pulau Arab".
Oleh bangsa Arab tanah air mereka disebut jazirah, kendati pun hanya dari tiga dari tiga jurusan saja dibatasi oleh laut. Yang demikian itu adalah secara majas (tidak sebenarnya).
Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu "Shibhul jazirah" yang dalam bahasa Indonesia berarti "Semenanjung".
Kalau diperhatikan kelihatanlah bahwa Jazirah Arab itu berbentuk empat persegi panjang, yang sisi-sisinya tiada sejajar.
Di sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah, disebelah selatan dengan Lautan Hindia, di sebelah timur dengan Teluk Arab (dahulu namanya Teluk Persia) dan di sebelah utara dengan Gurun Irak dan Gurun Syam (Gurun Siria). Panjangnya 1000 Km lebih, dan lebarnya kira-kira 1000 Km.
Bila salah seorang dari warganya, atau dari pengikut-pengikutnya dianiaya orang atau dilanggar haknya, maka menjadi kewajiban atas kabilah atau suku itu menuntut bela.
Oleh karena itu, maka acap kalilah terjadi peperangan-peperangan antara suku dengan suku yang lain. Peperangan-peperangan ini kadang-kadang berterusan sampai beberapa turunan (Ajjamul Arab fil Djahiliah oleh al ustadz Djada’l Maula cs).
Untuk memuliakan dan menghormati Ka’bah yang didatangi oleh bangsa Arab dari segenap penjuru guna mengerjakan haji dan umrah, maka dilaranglah berperang atau melancarkan penyerangan-penyerangan pada beberapa bulan dalam setahun, yaitu pada bulan Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram (pada bulan-bulan tersebut mereka mengerjakan haji) dan Rajab (dibulan ini mereka mengerjakan umrah).

Kebudayaan Arab, Kebudayaan Islam Dan Kebudayaan Islami Dalam Mata Diklat Pengayaan Materi Sejarah Kebudayaan Islam Bagi Guru Madrasah Tsanawiyah

http://bdkjakarta.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=850

Kebudayaan Arab, Kebudayaan Islam Dan Kebudayaan Islami Dalam Mata Diklat Pengayaan Materi Sejarah Kebudayaan Islam Bagi Guru Madrasah Tsanawiyah
Oleh : Iwan Falahudin
Abstraksi
Tulisan berjudul "Kebudayaan Arab, Kebudayaan Islam, Kebudayaan Islami", ini merupakan pengayaan konten pembelajaran dalam diklat pendalaman materi Sejarah Kebudayaan Islam bagi guru madrasah tsanawiyah di tiga wilayah kerja Balai Diklat Keagamaan Jakarta, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Kalimantan Barat.
Fakta di lapangan ketika penulis mengisi jam diklat untuk materi ini adalah adanya indikasi bagi sebagian guru SKI - MTs. kurangnya pemahaman tentang perbedaan antara kebudayaan Arab, Islam, dan Islami. Dan masalah utama yang muncul adalah bagaimana cara memberikan pemahaman yang lebih tentang masing-masing kebudayaan itu bagi para rekan guru? Berdasarkan hal tersebut maka tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memberikan sedikit pencerahan tentang pemahaman sebagian guru SKI - MTs. terutama mengenai Kebudayaan Arab, Kebudayaan Islam, Kebudayaan Islami. Metode kajian yang penulis lakukan dalam rangka menjawab permasalahan yang muncul di sebagian kalangan guru SKI - MTs. itu adalah "library research".
Simpulan dari tulisan ini adalah bahwa Kebudayaan Arab, tidak sama dengan Kebudayaan Islam, dan kedua kebuayaan itupun berbeda pula dengan Kebudayaan Islami.. Namun perbedaan tiga kebudayaan itu nampaknya belum terlalu "familiar" di kalangan sebagian guru Sejarah Kebudayaan Islam pada madrasah tsanawiyah. Karena pada umumnya yang biasa diketahui itu adalah persamaan dari tiga kebudayaan tersebut. Kebudayaan Arab adalah kebudayaan yang berasal dari bangsa Arab dan atau tumbuh di kawasan Arab. Dan Kebudayaan Islam secara khusus adalah sesuatu yang dihasilkan umat Islam baik dalam bentuk konkret maupun abstrak, yang secara prinsip bersumber pada ajaran Islam. Misalnya model baju penutup aurat, bersekolah, hidup sehat, dan sebagainya. Sedangkan Kebudayaan Islami adalah suatu cipta dan karya manusia baik muslim maupun non muslim yang berangkat dari sumber ajaran Islam. Misalnya membuat sapu, dan kebiasaan menyapu, walaupun dilakukan oleh orang non muslim, maka perbuatan dan kebiasaan itu disebut Kebudayaan Islami, karena bersumber dari ajaran Islam yaitu tentang kewajiban hidup bersih.
Saran yang dapat penulis sampaikan adalah mari sama-sama kita meningkatkan kualitas pengetahuan tentang Sejarah Kebudayaan Islam dengan memperbanyak bahan bacaan dari berbagai sumber. Sehingga kita dapat lebih mengidentifikasi persamaan dan perbedaan ketiga jenis kebudayaan tersebut.
Kata kunci: Kebudayaan Arab, Kebudayaan Islam, Kebudayaan Islami.
A.Pendahuluan
Dalam mata diklat Sejarah Kebudayaan Islam / SKI, ada tiga dasar pengetahuan utama yang idealnya menjadi paradigma para pebelajar (siswa) dan pembelajar (guru), yaitu dasar pengetahuan tentang sejarah, dasar pengetahuan tentang kebudayaan, dan dasar pengetahuan tentang Islam. Dalam konteks ini, para ahli berbeda pendapat tentang awal dimulainya sejarah dalam Kebudayaan Islam, dan asal kebudayaan dalam Sejarah Islam.
Ada dua cara pandang yang berbeda dalam pembahasan tentang sejarah dalam Kebudayaan Islam. Pertama, Sejarah Islam dimulai sejak proses penciptaan Nabi Adam AS. Kedua, Sejarah Islam dimulai sejak masa Nabi Muhammad SAW.
a.Bagi pendapat pertama, Sejarah Islam dimulai sejak diutusnya Nabi Adam As. Ada dua alasan yang mendasari. Pertama, Nabi Adam As. adalah nabi pertama dalam pemahaman ajaran Islam. Kedua, jika Sejarah Islam dimulai sejak masa Nabi Muhammad, berarti ada alur yang terputus antara Nabi Adam sampai Isa bahkan sampai masa sebelum diutusnya Muhammad. Padahal antara Nabi Muhammad dengan rasul-rasul sebelumnya meskipun berbeda dari sisi nama, namun dari sisi akidah ketuhanan memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya.
b.Bagi Pendapat kedua, Sejarah Islam dimulai sejak awal kenabian Muhammad yang sering dikaji sejak masa menjelang kelahirannya. Karena meski para rasul sejak Adam hingga Isa memiliki misi yang sama dengan Nabi Muhammad, tetapi secara faktual perkembangan Kebudayaan Islam dimulai dan dikembangkan sejak masa Nabi Muhammad (Ahmad Al-Usairy, Terj, Samson Rahman 2003: 4-9).
Dalam hal ini Penulis lebih cenderung pada pendapat yang kedua, yaitu Sejarah Islam dimulai sejak menjelang kelahiran Muhammad. Karena banyak pula yang membahas periodeisasi Sejarah Islam menggunakan pola kedua, yaitu dimulai dari keadaan Arab Pra Islam (menjelang kelahiran Muhammad) sampai diutusnya Nabi Muhammad SAW untuk berdakwah pada periode Makkah dan Madinah (Ahmad Al-Usairy, terjemah: Samson Rahman 2003: 4-9). Karena hampir seluruh umat manusia di dunia ini mengetahui Islam (meski belum tentu sepenuhnya benar), adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Dan mengenai asal kebudayaan dalam Sejarah Islam, para ahli juga berbeda pendapat, ada beranggapan bahwa Kebudayaan Arab adalah Kebudayaan Islam, ada pula yang berkeyakinan bahwa Kebudayaan Islam adalah semua kebudayaan yang berasal dari umat Islam. Bahkan ada pula yang membedakannya dengan kebudayaan islami. Pada umumnya, orang banyak yang beranggapan bahwa Kebudayaan Islam adalah Kebudayaan Arab, dan Kebudayaan Arab identik dengan Kebudayaan Islam. Padahal ada titik beda dan titik sama antara keduanya. Demikian juga halnya dengan Kebudayaan Islam, dan kebudayaan islami. Antara kedua keduanya ada unsur persamaan, dan ada pula perbedaannya.
Dalam perspektif sejarah, ketiga jenis kebudayaan tersebut memang berasal dari jazirah Arab, namun teritorial yang sama, bukan berarti pasti melahirkan sesuatu yang homogen. Dari ketiganya ada aspek yang bisa kita pilih dan pilah. Dan selanjutnya menjadi pedoman dalam perilaku kehidupan harian.
Fakta di lapangan mengindikasikan bahwa sebagian guru SKI - MTs. Banyak yang belum kuat pemahamannya tentang persamaan dan perbedaan antara ketiga jenis kebudayaan tersebut. Maka bagaimana caranya agar rekan-rekan guru SKI - MTs. itu dapat memiliki pemahaman yang cukup mengenai ketiga jenis kebudayaan itu? Dan dengan segala kerendahan hati, penulis mencoba menyampaikan tulisan sederhana ini dengan tujuan untuk memberikan sedikit penyegaran pemahaman tentang kebudayaan Arab, Islam, dan Islami. Untuk lebih jelasnya, sebaiknya kita membahas masalah kebudayaan mulai dari pengertiannya baik denotatif maupun konotatif.
B.Pembahasan
a.Makna Kebudayaan
Secara bahasa, kata kebudayaan berasal dari kata budaya. Budaya berasal dari bahasa Sansekerta budhayah. Jika diurai kata ini berasal dari kata budi atau akal, kemudian diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan budi atau akal manusia (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, Senin, 09 Januari 2012). Dalam Kamus Bahasa Indonesia, budaya berarti pikiran, atau akal budi, sedangkan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, adat, dan lain-lain (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 243).
makna kebudayaan dalam bahasa Inggris adalah culture, Sementara dalam bahasa Arab, kata yang biasa dipakai untuk menunjuk pada kebudayaan adalah al-hadlarah, terkadang juga al-tsaqafah (kata yang terakhir biasanya dipakai untuk padanan kata peradaban, atau civilization, dalam bahasa Inggrisnya).
Pengertian kebudayaan secara terminologis di antaranya menurut:
a)Selo Sumarjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah suatu hasil karsa, rasa, dan cipta masyarakat.
b)Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai bagian dari anggota masyarakat.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya,Senin, 09 Januari 2012).
Dari dua definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang dihasilkan dari akal pikiran, perasaan, dan perbuatan manusia. Secara umum kebudayaan terbagi menjadi 2 kategori, yaitu abstrak dan konkret. Kebudayaan yang bersifat abstrak yaitu sesuatu yang secara prinsip diakui keberadaannya namun tidak terlihat, misalnya ide / gagasan, dan kepercayaan. Sedangkan kebudayaan yang bersifat konkret adalah sesuatu yang dapat terlihat secara kasat mata, misalnya benda-benda yang dibuat manusia.
Kata kebudayaan sering disetarakan dengan kata peradaban. Padanan kata peradaban dalam Bahasa Inggris adalah civilization yang berakar kata civic, artinya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban warga negara. Oleh karena itu civilisasi berarti menjadikan seorang warga negara hidup lebih baik, teratur, tertib, sopan dan berkemajuan. Ciri-ciri masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang beradab. Hal ini sesuai dengan asal kata peradaban, yaitu adab yang berarti sopan santun (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, Senin, 09 Januari 2012).
Makna peradaban secara leksikal menurut kamus Bahasa Indonesia adalah kecerdasan lahir batin, dan tingkat kehidupan yang lebih maju, baik secara moral maupun material (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 27; 2008).
Secara istilah, peradaban (walau terkadang dianggap sama dengan kebudayaan) adalah pengetahuan praktis yang dimaksudkan untuk mengangkat derajat kehidupan manusia untuk dapat menguasai alam sekitar. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa peradaban memiliki nilai yang lebih tinggi disbanding dengan kebudayaan. (Musyrifah Sunanto, 3; 2003).
b.Makna Kebudayaan Islam
Islam tidak identik dengan Arab, karena tidak semua bangsa Arab pasti beragama Islam, banyak pula anggota masyarakat yang berasal dari bangsa Arab namun tidak beragama Islam. Karena itu, jika ada suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di wilayah Arab, maka kebudayaan tersebut dinamakan Kebudayaan Arab, walaupun ada juga sebagian orang dan ahli yang menyebutnya sebagai Kebudayaan Islam. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Arab, Senin, 09 Januari 2012). Terhadap pernyataan ini muncul dua pendapat :
a)Pertama, bahwa kebudayaan itu disebut sebagai kebudayaan Arab, karena kebudayaaan ini tumbuh dan besar di tanah Arab. Sering juga disebut kebudayaan Timur Tengah, atau budaya padang pasir.
b)Kedua, disebut sebagai Kebudayaan Islam. Sebab, meskipun kebudayaan ini lahir di tanah Arab, tetapi selanjutnya, Islam sangat berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan kebudayaan ini.
Dengan demikian, anggapan bahwa kebudayaan itu adalah Kebudayaan Islam, karena Islam adalah agama yang telah membesarkan kebudayaan tersebut.
Menurut pendapat Penulis, kedua pendapat itu dapat dibedakan pada aspek sudut pandangnya. Kalau dilihat dari sisi kebangsaan, atau teritorial maka kebudayaan tersebut dinamakan Kebudayaan Arab. Dan jika dilihat dari dominasi keagamaan yang mempengaruhinya, maka kebudayaan itu dapat dinamakan Kebudayaan Islam. Namun Penulis lebih cenderung untuk menyebut kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Arab. Karena sebagaimana kebudayaan yang tumbuh di Indonesia, tetap disebut sebagai Budaya Indonesia, dan bukan Kebudayaan Islam, meskipun Islam adalah agama yang dominan di Indonesia.
c.Ciri-Ciri dan Struktur Kebudayaan Islam
Ada pemahaman bahwa kebudayaan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah Kebudayaan Islam, dan bukan kebudayaan Arab, (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Arab, Senin, 09 Januari 2012). maka dalam hal ini ada dua cara pandang yang berbeda:
a)Pertama, Kebudayaan Islam adalah semua hasil cipta dan karya yang dihasilkan dalam pemerintahan Islam, atau komunitas yang mayoritas muslim, dengan Islam sebagai agama individu, atau komunitas pencetusnya.
b)Kedua, Kebudayaan Islami adalah suatu cipta dan karya yang bersumber dari dasar ajaran Islam, apa pun agama individu, atau komunitas pencetusnya meskipun berada dibawah pemerintahan non muslim.
Dalam hal ini Penulis lebih cenderung berpendapat bahwa Kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang mutlak berasal dari ajaran Islam, dicetuskan dan dilakukan oleh umat Islam. Kebudayaan Islam secara khusus adalah sesuatu yang dihasilkan umat Islam baik dalam bentuk konkret maupun abstrak, yang secara prinsip bersumber pada ajaran Islam. Misalnya model baju penutup aurat, bersekolah, hidup bersih, dan sebagainya.
Dan Kebudayaan Islami adalah suatu cipta dan karya manusia baik muslim maupun non muslim yang berangkat dari sumber ajaran Islam. Misalnya membuat sapu, dan kebiasaan menyapu, walaupun dilakukan oleh orang non muslim, maka perbuatan dan kebiasaan itu disebut Kebudayaan Islami, karena bersumber dari ajaran Islam tentang kewajiban hidup bersih. Maka wajar saja kalau ada orang yang berkata bahwa dia telah melihat banyak kebudayaan islami di dunia Barat (baca; mayoritas non muslim), meskipun disana sangat jarang umat Islam, sebaliknya kebudayaan islami itu belum banyak teraplikasikan di dunia bagian Timur (baca; mayoritas muslim), meskipun banyak penduduknya yang beragama Islam.
d.Tujuan dan Manfaat Mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam
Ada 3 (tiga) dimensi waktu dalam ilmu sejarah, yaitu: masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Ketiga dimensi waktu itu menunjukkan adanya kesatuan waktu yang saling berkesinambungan yang di dalamnya terdapat berbagai peristiwa dan perubahan. Untuk dapat memahami berbagai perubahan tersebut, manusia yang hidup pada saat ini harus belajar dari masa lampau. Berbekal dari pengetahuan masa lampau itu manusia pada masa sekarang dapat mengambil keputusan yang tepat demi kebaikan saat ini dan masa yang akan datang. Dan diharapkan untuk tidak mengulangi kesalahan sebagaimana yang telah dilakukan pada masa lampau. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah, Senin, 09 Januari 2012).
Sekalipun peristiwa masa lalu tidak akan terulang pada masa sekarang, tetapi pesan, nilai, dan pelajaran yang terkadung di dalamnya tidak pernah sirna atau basi. Sejarah sebagai ’ibrah, berarti menjadikan masa lalu yang positif sebagai contoh untuk ditiru dan ditingkatkan menjadi lebih baik lagi, dan menjadikan yang negatif sebagai pelajaran agar tidak terulang lagi, karena seekor keledai pun tidak akan masuk ke dalam lubang yang sama hingga dua kali.
Tujuan mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam pada umumnya Dalam konteks ini sebagaimana tercantum dalam Permenag Nomor 2 Tahun 2008, lampiran 3 b – bab VII, tentang SK – KD, yaitu:
a)Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya mempelajari landasan ajaran, nilai dan norma Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW dalam rangka mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
b)Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat sebagai sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
c)Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar berdasarkan pendekatan ilmiah.
d)Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan terhadap peninggalan Sejarah slam sebagai bukti peradaban umat Islam masa lampau.
e)Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mengambil ibrah dari peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek, seni, dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan Islam.
Sedangkan manfaat mempelajari Sejarah Kebudayaan Islam adalah:
a)Menumbuhkan rasa cinta terhadap Kebudayaan Islam yang merupakan buah karya kaum muslimin masa lalu.
b)Mengetahui lintasan peristiwa, waktu dan kejadian yang berhubungan dengan Kebudayaan Islam.
c)Mengetahui tempat-tempat bersejarah dan para tokoh yang berjasa dalam perkembangan Islam.
d)Memahami berbagai hasil pemikiran dan hasil karya para ulama dan tokoh Islam lainnya untuk diteladani-dalam-kehidupan-sehari-hari.
e.Bentuk / Wujud Kebudayaan
Bentuk / wujud kebudayaan menurut J.J. Hoenigman, ada tiga macam, yaitu: gagasan, aktivitas, dan artefak (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, Senin, 09 Januari 2012).
a)Gagasan/ide
merupakan wujud kebudayaan yang berbentuk kumpulan proses, atau hasil pikiran berupa ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak misalnya pemikiran di bidang ilmu sejarah, filsafat, matematika, fisika, kedokteran, dan lain-lain.
b)Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan berupa suatu perbuatan seseorang, atau komunitas. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Misalnya, acara lamaran, dan perayaan pesta perkawinan.
c)Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil atau cipta dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya konkret. Misalnya, rumah tinggal, tempat beribadah, dan lain-lain.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ide mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) untuk menghasilkan karya (artefak).
Berdasarkan wujudnya tersebut, menurut para ahli, budaya memiliki dua sifat yaitu:
a)Kebudayaan material
Kebudayaan material adalah semua ciptaan masyarakat yang nyata, dan konkret. Misalnya, televisi, stadion olahraga, dan lain-lain.
b)Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya, cerita rakyat, lagu, dan lain-lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, Senin, 09 Januari 2012).
C.Penutup
Setelah kita mengetahui dan bahkan atau memahami sudut pandang perbedaan antara Kebudayaan Arab, Kebudayaan Islam, dan Kebudayaan Islami, maka seyogyanya tumbuh dalam jiwa kita keinginan untuk dapat melestarikan kebudayaan yang terutama bersumber dari ajaran Islam. Lebih dari itu, ekspektasinya adalah kemampuan untuk dapat mengaplikasikan kebudayaan transcendental itu dalam perilaku kehidupan kita sehari-hari. Sehingga kemungkinan untuk mewujudkan kembali masa keemasan Islam dapat lebih terbuka peluangnya. Hal ini tentunya memerlukan dukungan dari semua pihak, mulai dari hal yang paling kecil, dan tentunya mulai sekarang juga.
a.Saran
Untuk lebih memperkaya dan melengkapi serta meningkatkan kualitas pengetahuan khususnya dalam bidang sejarah kebudayaan Islam, hendaknya para rekan guru dapat menambah waktu membacanya. Sehingga jika para rekan guru senantiasa menambah waktu dan jam membaca, maka proses belajar dan mengajar baik secara formal di kelas maupun informal di luar kelas, dapat lebih tinggi bobot dan mutunya. Dan lebih dari itu, kualitas para peserta didik pun dapat lebih meningkat pula.
Referensi
Ahmad Al-Usairy, terjemah: Samson Rahman, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta, Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2003.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, Senin, 09 Januari 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Arab, Senin, 09 Januari 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah, Senin, 09 Januari 2012.

Mengenal Sekilas Budaya/Tradisi Masyarakat Arab

http://mihrabqolbi.com/artikel/detail/21/mengenal-sekilas-budayatradisi-masyarakat-arab.html
Mengenal Sekilas Budaya/Tradisi Masyarakat Arab
Mengenal Sekilas Budaya/Tradisi Masyarakat Arab
Dalam batas-batas tertentu, pertemuan antara dunia luar dengan Indonesia lebih berbentuk persaingan, konflik, dan perselisihan daripada saling mengerti, bersahabat, dan kerja sama. Demikian juga antara dunia Arab dengan Indonesia. Bagi kebanyakana orang Indonesia, `Arab` selalu dihubungkan dengan kekayaan, kekerasan, kasar, dan pemarah. Bagi orang Arab, `Indonesia` selalu dikaitkan dengan kelebihan penduduk, kemiskinan, TKW/TKI dan `nriman`. Pada kedua belah pihak ada prasangka, ketidaktahuan, dan salah informasi. Dan lalu, sebagaimana dunia makin menjadi sempit karena kemajuan komunikasi, ditambah lagi adanya usaha saling memperhatikan yang lebih besar, kontak antara Indonesia dan Arab menjadi semakin berkembang di segala lini kehidupan.
Atas dasar kenyataan di atas, maka bagi setiap orang yang ingin berinteraksi dengan komunitas bangsa lain dalam percaturan global, termasuk dalam rangka tujuan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah, penting untuk memperhatikan hal-hal berikut, antara lain:

1. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa mayor di dunia yang dituturkan oleh lebih dari 200 juta jiwa dan digunakan secara resmi di lebih dari 22 negara. Secara umum bahasa Arab memiliki dua varietas, pertama bahasa Arab Fusha (bahasa Arab standar/baku) dan kedua bahasa Arab `Amiyyah (bahasa Arab pasaran). Varietas yang pertama umumnya digunakan dalam komunikasi resmi seperti dalam sekolah, kantor, seminar, dilpomatik, berita, buku-buku, majalah, dokumen-dokumen resmi dan sebagainya. Sedangkan varietas kedua, sering digunakan untuk keperluan komunikasi atau percakapan sehari-hari oleh warga kebanyakan dari segala kalangan baik yang terpelajar maupun yang buta huruf.

2. Komunikasi bisa berbentuk verbal maupun non-verbal. Porsi komunikasi non-verbal berkisar antara 60 persen (dalam budaya Barat) hingga 90 persen (dalam budaya Timur) dari keseluruhan komunikasi. Komunikasi verbal digunakan untuk menyampaikan gagasan, informasi atau pengetahuan, sedangkan komunikasi non-verbal digunakan untuk mengungkapkan perasaan. Fakta, peristiwa, ciri-ciri sesuatu lebih mudah kita ungkapkan lewat kata-kata, tetapi emosi seperti rasa sayang, rasa kagum, keterpesonaan, rasa jengkel, rasa benci, atau bahkan kemarahan seseorang tidak jarang diungkapkan lewat isyarat tangan, sentuhan, postur tubuh, nada suara, pandangan mata, ekspresi wajah tertentu, jarak berbicara, penggunaan waktu, peggunaan benda tertentu (busana, interior rumah, kendaraan, perhiasan, jam tangan, dasi, dsb.), bau-bauan dsb. Sepengetahuan saya, pola komunikasi orang Arab pada umumnya termasuk salah type komunikasi yang amat ekspressif yang memadukan antara bahasa verbal dengan non-verbal sekaligus, seperti dengan mimik, gesture, dan pendukung non-verbal lainnya guna mayakinkan lawan bicaranya.

3. Meskipun warga Arab Saudi umumnya beragama Islam (mungkin 100%), ini tidak berarti bahwa cara dan etika mereka dalam berkomunikasi selalu santun seperti diajarkan Al-quran dan Sunnah. Sebagian dari cara mereka berkomunikasi bersifat kultural semata-mata. Ini penting dipahami oleh orang-orang yang akan berziarah/berkunjung ke Arab Saudi baik untuk menunaikan ibadah umrah dan haji, apalagi untuk bekerja sebagai diplomat, pebisnis, pegawai, teknisi, perawat, TKI atau TKW untuk mengatasi mis-komunikasi (kesalahpahaman) dan konflik yang mungkin akan mereka/kita alami ketika berhubungan dengan orang Arab, karena bagaimanapun mereka akan lebih banyak berkomunikasi dengan warga pribumi.

4. Gaya komunikasi orang Arab, seperti gaya komunikasi orang-orang Timur Tengah umumnya, bebeda dengan pembicara orang-orang Barat (Amerika atau Jerman) yang berbicara langsung dan lugas. Dengan kata lain, orang Arab masih tidak berbicara apa adanya, masih kurang jelas dan kurang langsung. Umumnya orang Arab suka berbicara berlebihan dan banyak basi-basi (mujamalah). Misalnya, bila seorang Saudi bertemu temannya, maka untuk sekedar tanya kabar, tak cukup sekali dengan satu ungkapan, tapi berkali-kali. Disamping itu bila seorang Saudi mengatakan tepat seperti yang ia maksudkan tanpa pernyataan yang diharapkan, orang Saudi lainnya masih mengira yang dimaksudkannya adalah kebalikannya. Kata sederhana `La` (dalam bahasa Arab `Tidak`) yang diucapkan tamu tidaklah cukup untuk menjawab permohonan pribumi agar tamu menambah makan dan minum. Agar pribumi yakin bahwa tamunya memang betul-betul sudah kenyang, tamu itu harus mengulangi `La` beberapa kali, ditambah dengan sumpah seperti `Demi Allah` (`Wallah`).

5. Masih banyak isyarat non-verbal khas Arab lainnya yang berbeda makna dengan isyarat non-verbal ala Indonesia. Misalnya, sebagai pengganti kata-kata, `Tunggu sebentar!` atau `Sabar dong!` ketika dipanggil atau sedang menyeberangi jalan (sementara kendaraan datang mendekat), orang Arab akan menguncupkan semua jari-jari tangannya dengan ujung-ujungnya menghadap ke atas. Ketika bertemu dengan kawan akrab, mereka terbiasa saling merangkul seraya mencium pipi mitranya dengan bibir. Ini suatu perilaku yang dianggap nyeleneh oleh orang lain umumnya, bahkan mungkin juga oleh orang Indonesia. Orang lain yang tidak memahami budaya Arab akan menganggap perilaku tersebut sebagai perilaku homoseksual. Walhasil, jika kita bersama orang Arab, kita harus tahan berdekatan dengan mereka. Bila kita menjauh, orang Arab boleh jadi akan tersinggung karena Anda menyangka bahwa kehadiran fisiknya menjijikkan atau kita dianggap orang yang dingin dan tidak berperasaan. Begitu lazimnya orang Arab saling berdekatan dan bersentuhan sehingga senggol menyenggol itu hal biasa di mana pun di Arab Saudi yang tidak perlu mereka iringi dengan permintaan maaf.

6. Sejak kanak-kanak orang Arab dianjurkan untuk mengekspresikan perasaan mereka apa adanya, misalnya dengan menangis atau berteriak. Orang Arab terbiasa bersuara keras untuk mengekspresikan kekuatan dan ketulusan, apalagi kepada orang yang mereka sukai. Bagi orang Arab, suara lemah dianggap sebagai kelemahan atau tipu daya. Tetapi suara keras mereka boleh jadi ditafsirkan sebagai kemarahan oleh orang yang tidak terbiasa mendengar suara keras mereka. Maka pasti akan banyak yang mengira, kalau bicaranya seperti marah ketika seorang pegawai Arab misalnya, sedang memeriksa paspor, iqamah, dsb. Saya menduga banyak TKI/TKW di Arab Saudi yang belum memiliki pemahaman memadai tentang bahasa Arab boleh jadi mengidentikkan suara majikan mereka yang keras itu dengan kemarahan, meskipun majikan itu sesungguhnya tidak sedang marah. Sebaliknya, senyuman wanita kita (termasuk TKW) kepada orang Arab/majikan pria mereka yang mereka maksudkan sebagai keramahtamahan atau kesopanan, boleh jadi dianggap sebuah `godaan` oleh majikan pria mereka. Kesalahpahaman antarbudaya semacam ini, bisa tidak terhindarkan meskipun majikan dan TKW sama-sama Muslim. Mungkinkah problem TKW di Arab Saudi seputar terjadinya pelecehan seksual sebagaimana sering kita baca atau dengar, seperti kasus; `majikan Arab memerkosa atau menghamili TKW` dsb berkaitan dengan kesalahpahaman antarbudaya ini? Bisa jadi.

7. Budaya/tradisi Arab mementingkan keramahtamahan terhadap tamu, kemurahan hati, keberanian, kehormatan, dan harga-diri. Nilai kehormatan orang Arab terutama melekat pada anggota keluarganya, khususnya wanita, yang tidak boleh diganggu orang luar. Di Arab Saudi wanita adalah properti domestik. Di Saudi, adalah hal yang lazim jika seorang pria tidak pernah mengenal atau bahkan sekadar melihat wajah istri atau anak perempuan dari sahabatnya, meskipun mereka telah lama bersahabat dan sering saling mengunjungi. Juga tidak lazim bagi seorang pria untuk memberi bingkisan kepada istri sahabat prianya itu atau anak perempuannya yang sudah dewasa. Karena itu saran saya, tak usahlah kita coba-coba sok ramah, berlama-lama memandang, apalagi menggoda atau mengganggu.

8. Aturan/rambu-rambu lalu lintas yang berlaku di Arab Saudi berbeda 180º dengan aturan yang berlaku di negara kita. Di Indonesia, setiap pengguna jalan umum baik kendaraan pribadi maupun kendaraan/angkutan umum semua wajib berada di jalur kiri jalan (dan letak roda kemudi mobil berada di bagian kanan). Demikian pula waktu menaikkan atau menurunkan penumpang semua berada di jalur kiri. Karena itu penumpang di Indonesia jika ingin turun dari kendaraan umum, biasanya mereka bilang `Kiri Pak Sopir !`. Hal ini berbeda sama sekali dengan apa yang berlaku di Arab Saudi, semua pengguna jalan termasuk waktu menaikkan maupun menurunkan penumpang berada di jalur sebelah kanan jalan. Demikian pula waktu menaikkan maupun menurunkan penumpang, mereka wajib menepi ke sebelah kanan jalan. Apa jadinya jika tradisi lalu-lintas di negeri sendiri ini tetap `kita pertahankan dan kita bawa` saat kita berada di Arab Saudi? Sebuah features yang dimuat di sebuah surat kabar Arab Saudi (1999) pernah penulis baca: `Tingginya frekwensi kecelakaan lalu-lintas yang menimpa sopir pemula asal Indonesia, diduga karena perbedaan rambu-rambu lalu-lintas yang berlaku di Arab Saudi. Sementara kecelakaan yang menimpa warga pribumi Saudi, umumnya menimpa remaja usia 15-25 tahun disebabkan ugal-ugalan`.

9. Ada kesan, pandangan orang Saudi terhadap warga negara Indonesia agak `stereotif`. Diantara bangsa-bangsa yang datang berkunjung ke Saudi Arabia apapun motif dan tujuannya, orang-orang asal Indonesia termasuk yang paling mudah diidentifikasi, baik dari segi fisik (sebagaimana umumnya orang Asia Tenggara, orang Indonesia termasuk kelompok bangsa yang berfisik tidak tinggi dan tidak besar), segi pakaian maupun cara berjalan. Mungkin karena begitu banyaknya saudara-saudara kita yang muqim di Saudi baik sebagai TKI maupun TKW, maka kesan pukul rata (generalisasi) itu tidak jarang menimpa saudara kita jama`ah haji. Karena itu tidak usah dimasukkan di dalam hati jika suatu ketika ada di antara kita yang `disangka TKI/TKW` dan merasa kurang `dihargai` sebagai tamu Allah oleh orang Saudi ketika kita sedang di Arab Saudi, terutama di saat kita berjalan-jalan tanpa kostum atau identitas jama`ah haji.

10. Bagi orang Saudi, rumah betul-betul menjadi bagian privacy yang tak semua orang bisa mengakses ke dalam dengan mudahnya, sebagaimana kebiasaan kita di Indonesia. Desain rumah yang umumnya `hanya` berbentuk segi empat bertingkat seolah-olah menggambarkan bangunan sebuah benteng yang sulit ditembus. Faktanya memang benar, setiap rumah selalu ditutup dengan pagar tembok tinggi, dengan pintu gerbang bisa berlapis-lapis. Apa yang ada di balik tembok adalah sebuah privacy yang tidak boleh dikonsumsi oleh publik. Karena itu saya menyarankan untuk tidak tengak-tengok atau tolah-toleh mengamati pintu di depan rumah orang Saudi atau sekedar melihat-lihat bangunan bagian atas. Sebab, umumnya mereka sangat tidak respek dengan perilaku seperti ini, bisa jadi mereka mengira kalau orang itu adalah `harami` alias `maling` atau penculik yang sedang mengintai mangsa.

11. Tak lama setelah saya muqim di Mekkah, suatu sore saya berjalan-jalan di kawasan pertokoan di Mekkah dengan seorang kawan laki-laki dari Indonesia (asal Gondanglegi - Malang). Sebagaimana kebiasaan di Indonesia saya dan kawan saya berjalan bergandeng tangan sambil melihat-lihat barang yang ada di sepanjang pertokoan tersebut. Begitu melintasi salah satu toko yang dijaga oleh orang Arab, tiba-tiba kami ditegur si penjaga toko: `Isy fak inta ya walad !...inta luthy walla eh,....haza aib, ya walad...` (apa yang kau lakukan itu, nak...kamu homo apa bagaimana? Itu aib..). Wah...saya baru tahu, ternyata bergandengan tangan dengan sesama jenis di Saudi itu termasuk `aib` menurut mereka, sebab bisa dianggap sebagai pasangan homo, tetapi jika yang bergandengan tangan itu berlainan jenis (sebagaimana yang pernah saya lihat) ternyata biasa-biasa saja, sebab `diduga` itu pasangan suami istri.

12. Busana orang Saudi hampir semua sama. Mereka semua memakai pakaian putih yang biasa disebut `tsaub` dengan sorban motif kotak-kotak kecil berwarna putih-merah plus diikat dengan `igal` di kepala. Performance orang Saudi yang demikian wibawa seringkali membuat orang-orang Indonesia yang baru melihat atau mengenalnya menjadi ciut nyali, minder, kurang percaya diri bahkan tak jarang yang menjadi takut, sehingga menimbulkan adanya semacam jarak pemisah yang membatasi dalam pergaulan. Akibat berikutnya yang biasanya menimpa adalah adanya perasaan rendah diri di dalam perasaan orang-orang Indonesia ketika berhadap-hadapan dengan orang Saudi. Hal semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi, mengingat tak ada yang membedakan antara Arab maupun bukan Arab, kecuali hanya taqwanya. Saya menduga, kultur Jawa yang melekat kuat mengiternalisasi di dalam pribadi orang-orang kita kebanyakan, yang biasanya terkenal sebagai orang yang nriman, ngalah, dan rendah hati memberi andil yang kuat terhadap munculnya perasaan rendah diri di hadapan bangsa lain seperti ini. Dalam kasus-kasus tertentu kelemahan seperti ini justru `dimanfaatkan` oleh oknum orang Saudi untuk mem-pressure, menganiaya bahkan memperbudak saudara-saudara kita di Saudi. Idealnya kita tetap harus merasa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, dengan tetap menjunjung tinggi etika pergaulan global yang egaliter dan jauh dari sifat arogan.

13. Sesungguhnya di berbagai tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji (seperti di Mina, Arafah apalagi di Haram) telah dipasang tulisan larangan keras mengambil foto. Namun umumnya, para jama`ah haji lebih-lebih saudara-saudara kita jama`ah Haji asal Indonesia, selalu berusaha dengan cara mencuri-curi mengabadikan momentum-momentum tersebut dengan camera dgtl, handycam, HP maupun foto. Alasan pelarangan tersebut, tak lain karena hal-hal semacam itu sangat berpotensi mengurangi keikhlasan di dalam melakukan ibadah haji. Oleh karenanya, menjadi tugas kita bersama untuk menanamkan pemahaman bagi saudara-saudara kita jama`ah calon hati, agar hati betul-betul harus terjaga, agar semua itu tidak menjerumuskannya ke dalam perilaku `riya``
Alhasil, aspek pengenalan dan pemahaman terhadap budaya masyarakat Arab Saudi yang sesungguhnya tidak terkait langsung dengan rukun dan wajib haji merupakan elemen penting yang menjadi pendukung terlaksananya kesempurnaan ibadah haji. Semakin kita memahami budaya/tradisi masyarakat Arab tempat kita bertamu ke `baitullah` idealnya akan semakin berpengaruh terhadap kenyamanan, ketenangan dan akhirnya kekhusu`an ritual haji kita yang berujung pada tercapainya haji mabrur. Amin. Wallahu Waliyyuttaufiq.